Rabu, 14 April 2010

CREATIVE BASED LEARNING (PEMBELAJARAN BERBASIS KREATIVITAS)

Oleh : Hajriana

Pendahuluan
Sebelum adanya perubahan paradigma pendidikan, dari teacher centre ke student centre, siswa dalam pembelajaran merupakan objek, bukan subjek, ketergantungan kepada seorang guru sangat besar. Selain itu, ukuran keberhasilan belajar siswa selalu dinilai dari prestasi akademik yang mereka peroleh, sedangkan prestasi non akademik belum diperhatikan.
Selain itu, sekolah menjadi pengalaman yang menakutkan dan membosankan. Di sekolah hanya ada ruang belajar yang sesak dengan jumlah siswa yang melebihi kapasitas, sebuah papan tulis, kapur tulis, meja dan kursi yang disusun berjejeran. Kemudian di sekolah siswa dijejali dengan materi yang sangat banyak, dipaksa menghafal banyak materi pelajaran, dan mencatat pelajaran yang sedang dijelaskan oleh guru.
Saat ini, setelah perubahan paradigma yang menjadikan siswa sebagai subjek pembelajaran, sekolah diupayakan untuk menjadi tempat yang menyenangkan, siswa belajar dengan penuh motivasi, inspiratif, kreatif, dan diupayakan agar pendidikan dapat memberikan pengetahuan dan pengalaman agar dapat menjawab tantangan dalam kehidupan mereka yang akan datang.
Perubahan ini diharapkan untuk meningkatkan mutu pendidikan di Indonesia. Dalam peraturan pemerintah RI Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional pendidikan. Pasal 19 dari peraturan pemerintah ini berbunyi sebagai berikut :
1. Proses pembelajaran pada satuan pendidikan diselenggarakan secara interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, memotivasi peserta didik untuk berpartisifasi aktif, serta memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa, kreatifitas, dan kemandirian sesuai bakat, minat, dan perkembangan fisik serta psikologis peserta didik.
2. Selain ketentuan sebagaimana dimaksudkan pada ayat (1), dalam proses pembelajaran pendidik memberikan keteladanan
3. Setiap satuan pendidikan melakukan perencanaan proses pembelajaran, pelaksanaan proses pembelajaran untuk terlaksananya proses pembelajaran yang efektif dan efesien.
Pengertian Kreativitas
Defenisi kreativitas banyak dikemukakan oleh para ahli, namun tidak ada defenisi yang dapat diterima secara universal. Rhodes (1961, dalam Isaken, 1987 dalam Utami Munandar, 2004) menganalisis defenisi kreativitas dan menyimpulkan bahwa pada umumnya kreativitas dirumuskan dalam istilah pribadi (person), proses dan produk. Rhodes (dalam Utami Munandar, 2004) menyebutkan defenisi kreativitas sebagai “Four P’s of creativity: person, process, press, product".
Torrance (1998) memilih defenisi kreativitas sebagai proses dan menghubungkan antara keempat defenisi kreativitas itu sebagai berikut; dengan berfokus pada proses kreatif, dapat ditanyakan jenis pribadi yang bagaimanakah akan berhasil dalam proses tersebut, macam lingkungan yang bagaimanakah akan memudahkan proses kreatif, dan produk yang bagaimanakah yang dihasilkan dari proses kreatif?.
Untuk lebih memahami defenisi kreativitas, para pakar menjelaskan defenisi empat p tersebut sebagai berikut:
1. Pribadi.
Menurut Hulbeck (1945) yang memandang kreatifitas sebagai pribadi mengatakan bahwa tindakan kreatif muncul dari keunikan keseluruhan kepribadian dalam interaksi dengan lingkungannya.
Utami munandar mengemukakan ciri-ciri kepribadian yang kreatif seperti fleksibilitas, toleransi terhadap kedwiartian, dorongan untuk berprestasi dan mendapat pengakuan, keuletan dalam menghadapi rintangan, dan pengambilan resiko yang moderat.
2. Proses
Defenisi proses yang terkenal adalah defenisi Torrance (1988) tentang kreativitas yang pada dasarnya menyerupai langkah-langkah dalam metode ilmiah, yaitu:
…the process of 1) sensing difficulties, problems, gaps in information, missing elements, something asked; 2) making guesses and formulating hypotheses about these deficiencies; 3) evaluating and testing these guessesand hypotheses; 4) possibly revising and retesting them; and finally; 5) communicating the results.
Adapun langkah-langkah proses kreatif menurut Wallas (1926), meliputi tahap persiapan, inkubasi, iluminasi, dan verifikasi.

3. Produk
Rogers (dalam Vernon, 1982) mengemukakan criteria untuk produk kreatif ialah:
a. Produk itu harus nyata (observable)
b. Produk itu harus baru,
c. Produk itu adalah hasil dari kualitas unik individu dalam interaksi dengan lingkungannya.
4. Press
Kategori keempat adalah press atau dorongan, baik dorongan internal yakni dorongan dari diri sendiri berupa keinginan dan hasrat untuk mencipta atau bersibuk diri secara kreatif, maupun dorongan eksternal dari lingkungan sosial dan psikologis.

Jadi dapat disimpulkan bahwa kreativitas (creativity) dapat dilihat dari sudut pandang ciri-ciri pribadi yang kreatif, proses yang membentuk kreativitas, produk yang dihasilkan dari proses kreatif dan dorongan yang mendukung munculnya kreativitas.
Sementara, orang yang berpikir kreatif, memiliki karakteristik; kelancaran (fluency), keluwesan (flexibility), orisinalitas (original), merinci dan mengembangkan (elaboration) Sedangkan orang yang memiliki kemampuan kreatif adalah, yang mampu; menciptakan gagasan/ide, mengenal kemungkinan alternative, melihat kombinasi yang tidak diduga, memiliki keberanian untuk mencoba sesuatu yang tidak lazim.

Pembelajaran Kreatif
Salah satu dorongan (press) eksternal yang dapat mendorong keinginan kreatif yaitu lingkungan sekolah. Di lingkungan sekolah dapat diciptakan situasi dan kondisi yang mendorong pengembangan kreativitas bagi siswa, misalnya dalam proses pembelajaran kreatif.
Pembelajaran kreatif merupakan usaha membangun pengalaman belajar siswa dengan berbagai keterampilan proses untuk mendapatkan pengalaman dan pengetahuan baru, melalui penciptaan kegiatan belajar yang beragam dan mengkondisikan suasana belajar sehingga mampu memberikan pelayanan pada berbagai tingkat kemampuan dan gaya belajar siswa, serta siswa lebih terpusat perhatiannya secara penuh.
Ada beberapa hal yang dapat diperhatikan dalam membangkitkan kreativitas siswa melalui proses pembelajaran, sebagai berikut:

1. Guru
Guru memiliki peran besar dalam mendidik siswa untuk berprestasi, termasuk membantu anak mengembangkan kreativitasnya. Yang dapat dilakukan seorang guru yaitu dengan mendorong motivasi instrinsiknya. Guru dapat mendorong semua siswa belajar semua bidang keterampilan di sekolah, sehingga anak dapat memperoleh keterampilan kreatif melalui model-model berpikir dan bekerja kreatif. Seorang guru dapat memberikan gagasan, saran, dan bimbingan, tetapi tidak memberikan jawaban dan petunjuk eksplisit, jadi anak dapat mencetuskan gagasan sendiri.
2. Falsafah Mengajar
Utami Munandar menawarkan falsafah mengajar yang dapat mendorong kreativitas anak secara keseluruhan, sebagai berikut:
a. Belajar adalah sangat penting dan sangat menyenangkan.
b. Anak patut dihargai dan disayangi sebagai pribadi yang unik.
c. Anak hendaknya menjadi pelajar yang aktif. Mereka perlu didorong untuk membawa pengalaman, gagasan, minat, dan bahan mereka ke kelas. Mereka dimungkinkan untuk membicarakan bersama dengan guru mengenai tujuan bekerja/belajar setiap hari, dan perlu diberi otonomi dalam menentukan bagaimana mencapainya.
d. Anak perlu merasa nyaman dan dirangsang di dalam kelas. Hendaknya tidak ada tekanan dan ketegangan.
e. Anak harus mempunyai rasa memiliki dan kebanggaan di dalam kelas. Mereka perlu dilibatkan dalam merancang kegiatan belajar dan boleh membawa bahan-bahan dari rumah.
f. Guru merupakan nara sumber, bukan polisi atau dewa. Anak harus menghormati guru, tetapi merasa aman dan nyaman dengan guru. Robot kecil tidak akan belajar, dan juga tidak kreatif.
g. Guru memang kompeten, tetapi tidak perlu sempurna.
h. Anak perlu merasa bebas untuk mendiskusikan masalah secara terbuka baik dengan guru, maupun dengan teman sebaya. Ruang kelas adalah milik mereka juga dan mereka berbagi tanggung jawab dalam mengaturnya.
i. Kerja sama selalu lebih dari kompetisi
j. Pengalaman belajar hendaknya dekat dengan pengalaman dari dunia nyata.
3. Pengaturan ruang kelas
Pengaturan ruang kelas yang baik untuk memupuk belajar yang bermakna dan kreativitas pada anak, yakni ruang kelas yang terbuka. Kelas terbuka ini mempunyai struktur yang tidak kaku, kurang ada tekanan terhadap kinerja siswa, dan lebih banyak pada perhatian individual.
Kelebihan kelas terbuka ini, adalah menekankan pembelajaran individualized, yakni didasarkan pada minat, pengalaman, kekuatan, kelemahan dan gaya belajar siswa. Selain itu, ruang kelas akan merangsang secara visual, yakni siswa dapat memajang hasil karya mereka di kelas dan bebas menggantinya sesuai dengan keinginan mereka, selain hasil karya, siswa juga dapat menghadirkan bahan-bahan pendidikan ke dalam kelas.
4. Strategi mengajar
Untuk meningkatkan kreativitas siswa dalam pembelajaran, guru dapat menggunakan sejumlah strategi khusus, diantaranya:
a. Penilaian. Yang dapat guru lakukan yaitu; 1) memberikan umpan balik yang berarti dari pada evaluasi yang abstrak dan tidak jelas; 2) melibatkan siswa dalam menilai pekerjaan mereka sendiri dan belajar dari kesalahan mereka; 3) penekanannya hendaknya terhadap ”apa yang telah kau pelajari?” dan bukan pada ”bagaimana kau melakukannya?”.
b. Hadiah. Guru dapat menggunakan strategi pemberian hadiah, namun hadiah yang terbaik adalah tidak berupa materi, bisa dengan anggukan atau senyuman, kata penghargaan, kesempatan untuk menampilkan dan mempresentasikan pekerjaan sendiri dan pekerjaan tambahan.
c. Pilihan. Guru dapat memberikan kesempatan kepada siswa untuk memilih, misalnya boleh memilih topik karangannya sendiri.

Selain yang telah dikemukakan di atas, dalam pelaksanaan pembelajaran kreatif hendaknya memperhatikan hal-hal berikut:
1. Memahami sifat yang dimiliki anak
Pada dasarnya anak memiliki sifat: rasa ingin tahu dan kebebasan berimajinasi. Kedua sifat tersebut merupakan modal dasar bagi berkembangnya sikap/berpikir kritis dan kreatif.

2. Mengenal anak secara perorangan
Para siswa berasal dari lingkungan keluarga yang bervariasi dan memiliki kemampuan yang berbeda. Dalam pembelajaran kreatif perbedaan individual perlu diperhatikan dan harus tercermin dalam kegiatan pembelajaran. Semua anak dalam kelas tidak selalu mengerjakan kegiatan yang sama, melainkan berbeda sesuai dengan kecepatan belajarnya. Anak-anak yang memiliki kemampuan lebih dapat
dimanfaatkan untuk membantu temannya yang lemah (tutor sebaya). Dengan mengenal kemampuan anak, kita dapat membantunya bila mendapat kesulitan sehingga anak tersebut belajar secara optimal.

Teknik Pembelajaran Kreatif
Pembelajaran merupakan suatu proses yang kompleks dan melibatkan berbagai aspek yang saling berkaitan. Oleh karena itu, untuk menciptakan pembelajaran yang kreatif diperlukan berbagai ketrampilan, diantaranya adalah ketrampilan membelajarkan atau ketrampilan mengajar. Keterampilan mengajar merupakan kompetensi profesional yang cukup kompleks, sebagai integrasi dari berbagai kompetensi guru secara utuh dan menyeluruh.
Menurut Zainon AS, keterampilan mengajar yang sangat berperan dan menentukan kualitas pembelajaran, meliputi:
1. Ketrampilan bertanya sangat perlu dikuasai guru untuk menciptakan pembelajaran yang efektif dan menyenangkan.
2. Penguatan merupakan respon terhadap suatu perilaku yang dapat meningkatkan kemungkinan terulangnya kembali perilaku tersebut. Penguatan bertujuan untuk meningkatkan perhatian peserta didik terhadap pembelajaran, merangsang dan meningkatkan motivasi belajar, meningkatkan kegiatan belajar, dan membina perilaku yang produktif.
3. Mengadakan variasi merupakan ketrampilan yang harus dikuasai guru yang bertujuan untuk meningkatkan perhatian peserta didik terhadap materi standar yang relevan, memberikan kesempatan bagi perkembangan bakat peserta didik terhadap berbagai hal baru dalam pembelajaran, memupuk perilaku positif peserta didik dalam pembelajaran, serta memberi kesempatan kepada peserta didik untuk belajar sesuai dengan tingkat perkembangan dan kemampuannya. Variasi dapat dilakukan pada gaya mengajar, penggunaan media dan sumber belajar, pola interaksi, dan variasi dalam kegiatan pembelajaran.
4. Menjelaskan adalah mendeskripsikan secara lisan tentang sesuatu benda, keadaan, fakta, dan data sesuai dengan waktu dan hukum-hukum yang berlaku. Penjelasan dapat diberikan selama pembelajaran, baik di awal, di tengah, maupun di akhir pembelajaran. Penjelasan harus bermakna dan menarik perhatian peserta didik dan sesuai dengan materi standar dan kompetensi dasar.
5. Membuka dan menutup pelajaran merupakan dua kegiatan rutin yang dilakukan guru untuk memulai dan mengakhiri pelajaran. Membuka dan menutup pelajaran yang dilakukan secara profesional akan memberikan pengaruh positif terhadap kegiatan pembelajaran.
6. Membimbing diskusi kelompok kecil yang bermanfaat agar siswa dapat berbagi informasi dan pengalaman dalam pemecahan suatu masalah, meningkatkan pemahaman terhadap masalah yang penting dalam pembelajaran, meningkatkan ketrampilan dalam perencanaan dan pengambilan keputusan, mengembangkan kemampuan berfikir dan berkomunikasi, membina kerjasama yang sehat dalam kelompok yang kohesif dan bertanggung jawab.
7. Mengelola kelas merupakan keterampilan guru untuk menciptakan iklim pembelajaran yang kondusif, dan mengendalikannya jika terjadi gangguan dalam pembelajaran. Hal-hal yang harus diperhatikan dalam pengelolaan kelas adalah kehangatan dan keantusiasan, tantangan, variasi, fleksibel, penekanan pada hal-hal positif, dan penanaman disiplin diri. Komponen keterampilan mengelola kelas adalah penciptaan dan pemeliharaan iklim pembelajaran yang optimal, keterampilan yang berhubungan dengan pengendalian kondisi belajar yang optimal, pengelolaan kelompok dengan cara peningkatan kerjasama dan keterlibatan siswa dan menangani konflik dan memperkecil masalah yang timbul, serta menemukan dan mengatasi perilaku yang menimbulkan masalah.
8. Mengajar kelompok kecil dan perorangan merupakan suatu bentuk pembelajaran yang memungkinkan guru memberikan perhatian terhadap setiap peserta didik, dan menjalin hubungan yang lebih akrab antara guru dengan peserta didik maupun antara peserta didik dengan peserta didik.


Simpulan
Pembelajaran bebasis kreativitas merupakan pembelajaran yang berupaya membangun pengalaman belajar siswa dengan berbagai keterampilan proses untuk mendapatkan pengalaman dan pengetahuan baru, serta memiliki kemampuan berpikir kreatif.
Dalam Pembelajaran kreatif, dituntut seorang guru yang memiliki kreativitas tinggi untuk menciptakan situasi pembelajaran yang mendorong kreativitas siswa selama proses pembelajaran.


Daftar Rujukan
Munandar, Utami. Pengembangan Kreativitas Anak Berbakat. Jakarta: PT Rineka Cipta. 2004

http://wijayalabs.blogspot.com/2008/01/pembelajaran-kreatif.html

http://forum.dudung.net/index.php

http://blog.unila.ac.id/sinung/2009/09/17/menciptakan-pembelajaran-kreatif-dan-menyenangkan-untuk-peningkatan-kualitas-pembelajaran

PROBLEM BASED LEARNING (PEMBELAJARAN BERBASIS MASALAH)

PROBLEM BASED LEARNING
(PEMBELAJARAN BERBASIS MASALAH)

Oleh: Hajriana


Pendahuluan
Seiring dengan perkembangan zaman, pendidikan juga mengalami perubahan pesat. Hal ini karena adanya tuntutan zaman terhadap dunia pendidikan, maka dilakukan reformasi mulai dalam sistem pendidikan hingga ke proses pembelajarannya, misalnya perubahan pada kurikulum, penciptaan dan pemanfaatan berbagai media pembelajaran, dan perubahan paradigma pendidikan dari yang teacher centre ke student centre dan perubahan-perubahan lainnya.
Sebelum perubahan paradigma pembelajaran yang berpusat pada guru, siswa hanya dijadikan objek pembelajaran, dan guru merupakan subjek pembelajaran, guru merupakan satu-satunya sumber belajar, sehingga siswa sangat tergantung pada sosok guru.
Untuk meningkatkan kualitas proses dan hasil belajar, para ahli pembelajaran telah menyarankan penggunaan paradigma pembelajaran konstruktivistik untuk kegiatan belajar-mengajar di kelas. Dengan paradigma ini, pembelajaran selalu diprioritaskan pada siswa. Kegiatan pembelajaran didesain sedemikian rupa agar lebih banyak melibatkan siswa, mendorong siswa untuk lebih kreatif dan belajar mandiri. Dalam proses pembelajaran, guru dapat menggunakan pendekatan, strategi, model, atau metode pembelajaran inovatif berupa pembelajaran berbasis masalah (Problem-based learning), selanjutnya disingkat PBL, merupakan salah satu model pembelajaran inovatif yang dapat memberikan kondisi belajar aktif kepada siswa dengan mengarahkan siswa untuk bersama-sama memecahkan suatu masalah. Berikut akan dibahas lebih rinci tentang pembelajaran berbasis masalah tersebut.

Defenisi Problem Based Learning (PBL)
Problem Based Learning (selanjutnya baca PBL) merupakan salah satu inovasi pendidikan. Berdasarkan defenisi dari Wikipedia problem based learning is a student-centered instructional strategy in which students collaboratively solve problems and reflect on their experiences. Dari pengertian di atas dijelaskan bahwa PBL adalah suatu strategi pembelajaran yang berpusat pada siswa, starategi ini mengkolaborasikan antara pemecahan masalah dan refleksi terhadap suatu pengalaman.
Menurut Ward (2002) dan Stepien (1993) PBL adalah suatu model pembelajaran yang melibatkan siswa untuk memecahkan suatu masalah melalui tahap-tahap metode ilmiah sehingga siswa dapat mempelajari pengetahuan yang berhubungan dengan masalah tersebut dan sekaligus memiliki ketrampilan untuk memecahkan masalah.
Pendapat lain mengatakan bahwa PBL is an instructional method that challenges students to "learn to learn," working cooperatively in groups to seek solutions to real world problems. Defenisi ini mengemukakan bahwa PBL merupakan salah satu metode pembelajaran yang menantang bagi siswa untuk “belajar untuk belajar”, bekerja sama dalam kelompok untuk menemukan solusi atas masalah-masalah yang nyata dalam kehidupan mereka. Dalam PBL siswa akan terlibat sebagai subjek pembelajaran dan akan mendorong rasa ingin tahu siswa dalam proses pembelajaran.
Menurut Suradijono (2004) PBL adalah metode belajar yang menggunakan masalah sebagai langkah awal dalam mengumpulkan dan mengintegrasikan pengetahuan baru. Atau menurut Boud & Felleti (1991) menyatakan bahwa Problem Based Learning is a way of constructing and teaching course using problem as a stimulus and focus on student activity”. Lebih lanjut Boud dan felleti, (1997), Fogarty (1997) menyatakan bahwa PBL adalah suatu pendekatan pembelajaran dengan membuat konfrontasi kepada pebelajar (siswa/mahasiswa) dengan masalah-masalah praktis, berbentuk ill-structured, atau open ended melalui stimulus dalam belajar.
Dapat disimpulkan bahwa PBL adalah strategi pembelajaran yang mendorong siswa untuk menemukan solusi terhadap suatu masalah, baik masalah fiktif yang dirancang oleh guru untuk melatih siswa maupun masalah yang nyata dalam kehidupan siswa. Pemecahan masalah ini dapat dipikirkan secara bersama-sama dalam kelompok kerja.
Adapun konsep PBL ini dikembangkan berdasarkan pada teori-teori pendidikan Vygotsky, Dewey, dan teori lain yang terkait dengan teori pembelajaran konstruktivis sosial-budaya dan desain pembelajaran.
Sedangkan hasil belajar (outcomes) yang diperoleh siswa yang diajar dengan PBL menurut Arends (2004) yaitu: (1) inkuiri dan ketrampilan melakukan pemecahan masalah, (2) belajar model peraturan orang dewasa (adult role behaviors), dan (3) ketrampilan belajar mandiri (skills for independent learning).
Karakteristik Problem Based Learning (PBL)
Strategi PBL memiliki karakteristik sebagai berikut:
1. Learning is driven by challenging, open-ended, ill-defined and ill-structured, practical problems. Jadi strategi PBL didorong oleh tantangan, lebih terbuka, masalahnya tidak jelas, tidak beraturan dan praktis.
2. Students generally work in collaborative groups. Dalam PBL ini siswa bekerjasama dalam suatu kelompok untuk menemukan solusi suatu masalah.
3. Teachers take on the role as "facilitators" of learning. Dalam PBL guru berperan sebagai fasilitator, yakni yang mengarahkan, membimbing, dan mendampingi siswa dalam proses pembelajaran.
4. Instructional activities are based on learning strategies involving semantic reasoning, case based reasoning, analogical reasoning, causal reasoning, and inquiry reasoning, These activities include creating stories; reasoning about cases; concept mapping; causal mapping; cognitive hypertext crisscrossing; analogy making; and question generating. Penerapan kegiatan instruksional PBL didasarkan pada strategi pembelajaran yang melibatkan penalaran semantik, penalaran berbasis kasus, penalaran analogis, penalaran kausal, dan penalaran penyelidikan,

Selain itu, menurut Fogarty (1997) PBL memiliki karakteristik-karakteristik sebagai berikut: (1) belajar dimulai dengan suatu masalah, (2) memastikan bahwa masalah yang diberikan berhubungan dengan dunia nyata siswa/mahasiswa, (3) mengorganisasikan pelajaran diseputar masalah, bukan diseputar disiplin ilmu, (4) memberikan tanggung jawab yang besar kepada pebelajar dalam membentuk dan menjalankan secara langsung proses belajar mereka sendiri, (5) menggunakan kelompok kecil, dan (6) menuntut pebelajar untuk mendemontrasikan apa yang telah mereka pelajari dalam bentuk suatu produk atau kinerja.
Pada hakekatnya karakteristik PBL ini menciptakan pembelajaran yang menantang siswa untuk memecahkan berbagai masalah yang dihadapi dengan menjalin kerjasama dengan siswa lain, dan guru hanya berperan sebagai fasilitator. Jadi pembelajaran berpusat pada siswa.
Menurut Hmelo-Silver & Barrows (2006) bahwa dalam perspektif konstruktivisme, peran instruktur/ guru dalam PBL adalah membimbing proses belajar daripada memberikan pengetahuan. Dari perspektif ini, komponen penting dalam proses PBL adalah adanya umpan balik (feed back), refleksi terhadap proses pembelajaran dan dinamika kelompok.

Kelebihan Problem Based Learning
PBL dapat diterapkan dalam kurikulum dan pembelajaran, mengingat pentingnya siswa/mahasiswa memiliki pengalaman dan kemampuan mengatasi masalah nyata dalam kehidupannya sehari-hari secara mandiri.
Adapun kelebihan menggunakan PBL, antara lain; (1) Dengan PBL akan terjadi pembelajaran bermakna. Siswa/mahasiswa yang belajar memecahkan suatu masalah maka mereka akan menerapkan pengetahuan yang dimilikinya atau berusaha mengetahui pengetahuan yang diperlukan. Belajar dapat semakin bermakna dan dapat diperluas ketika siswa/mahasiswa berhadapan dengan situasi di mana konsep diterapkan; (2) Dalam situasi PBL, siswa/mahasiswa mengintegrasikan pengetahuan dan ketrampilan secara simultan dan mengaplikasikannya dalam konteks yang relevan. Artinya, apa yang mereka lakukan sesuai dengan keadaan nyata bukan lagi teoritis sehingga masalah-masalah dalam aplikasi suatu konsep atau teori mereka akan temukan sekaligus selama pembelajaran berlangsung; dan (3) PBL dapat meningkatkan kemampuan berpikir kritis, menumbuhkan inisiatif siswa/mahasiswa dalam bekerja, motivasi internal untuk belajar, dan dapat mengembangkan hubungan interpersonal dalam bekerja kelompok.

Penerapan Problem-Based Learning dalam Kurikulum
Konsep PBL telah diterapkan dalam kurikulum pendidikan oleh beberapa negara. Salah satu perguruan tinggi di Singapura yakni Politeknik telah menerapkan PBL ini sejak tahun 2002.
PBL di Politeknik ini diterapkan melalui pembelajaran dengan sehari satu masalah (One-Day-One-Problem), jumlah mahasiswa dalam satu kelas dibatasi tidak lebih dari 25 orang, mereka dibagi ke dalam kelompok kerja kemudian disajikan satu masalah yang mungkin terjadi dalam skenario yang nyata. Peran fasilitator/ dosen yakni membimbing mahasiswa melalui tiga kali rapat sehari penuh dan membantu mereka dengan berdiskusi, sehingga melalui proses pembelajaran ini melahirkan mahasiswa yang memiliki kemampuan mengatasi masalah (problem-solving skills). Setelah proses diskusi dan mahasiswa telah menemukan solusi pemecahan masalah, setiap kelompok harus menyajikan temuan dan saran mereka untuk memecahkan masalah yang telah ditetapkan sebelumnya. Selama penyajian, mahasiswa didorong untuk menyampaikan pendapat mereka. Setelah selesai penyajian kelompok, fasilitator menjelaskan solusi ideal untuk memecahkan masalah tersebut. Penilaian dilakukan setiap hari selama proses pembelajaran berlangsung.
PBL juga diterapkan di Malaysia, upaya ini dilakukan dengan memperkenalkan PBL dalam Matematika sekunder yang disebut PBL4C yang merupakan singkatan dari Problem Based Learning the Four Core Areas in the Mathematics Education Framework. Keempat wilayah inti dalam kerangka pendidikan matematika yaitu isi, proses berpikir, keterampilan, dan nilai-nilai, dengan siswa/mahasiswa sebagai fokus pembelajaran.
Beberapa sekolah kedokteran telah memasukkan PBL ini ke dalam kurikulum mereka. Dalam proses pembelajaran digunakan kasus pasien yang nyata untuk mengajarkan siswa bagaimana berpikir layaknya seorang dokter. Sedangkan lebih dari 80% sekolah kedokteran di Amerika Serikat sekarang ini memiliki beberapa bentuk pembelajaran berbasis masalah dalam program pembelajaran mereka.
Di Indonesiapun, PBL ini telah diterapkan dalam pembelajaran, misalnya di UGM,
diterapkan di jurusan Teknik Geologi. Dan saat ini telah berupaya diterapkan di kurikulum sekolah.

Teknik Penerapan Problem Based Learning dalam Pembelajaran
Penerapan PBL dalam proses pembelajaran memerlukan persiapan-persiapan. Salah satunya yaitu menetapkan permasalahan atau tugas (triggering problem/question), dengan syarat; 1) masalah tidak mempunyai struktur yang jelas sehingga siswa/mahasiswa terdorong untuk membuat sejumlah hipotesis dan mengkaji berbagai kemungkinan penyelesaian masalah; 2) masalah cukup kompleks dan ambigu, sehingga siswa/mahasiwa terdorong untuk menggunakan strategi-strategi penyelesaian masalah dan keterampilan berpikir yang tinggi, seperti melakukan analsis dan sintesis, evaluasi, dan pembentukan pengetahuan dan pengalaman baru; 3) Bermakna dan ada hubungannya dengan kehidupan nyata siswa/mahasiswa, sehingga mereka termotivasi untuk mengarahkan dirinya sendiri dan menguji pengetahuan/pemahaman lama mereka dalam menyelesaikan tugas tersebut.
Arends (2004) juga merinci langkah-langkah pelaksanaan PBL dalam pengajaran, ada 5 fase (tahap) yang perlu dilakukan untuk mengimplementasikan PBL. Fase-fase tersebut merujuk pada tahap-tahapan praktis yang dilakukan dalam kegiatan pembelajaran. Fase tersebut, dapat diuraikan sebagai berikut:
Fase Aktivitas guru
Fase 1:
Mengorientasikan mahasiswa pada masalah. Guru/dosen menjelaskan tujuan pembelajaran, logistik yang diperlukan, memotivasi mahasiswa terlibat aktif pada aktivitas pemecahan masalah yang dipilih. Sutrisno (2006) menekankan empat hal penting pada proses ini, yaitu: (1) Tujuan utama pengajaran ini tidak untuk mempelajari sejumlah besar informasi baru, tetapi lebih kepada belajar bagaimana menyelidiki masalah-masalah penting dan bagaimana menjadi mahasiswa yang mandiri, (2) Permasalahan dan pertanyaan yang diselidiki tidak mempunyai jawaban mutlak “benar“, sebuah masalah yang rumit atau kompleks mempunyai banyak penyelesaian dan seringkali bertentangan, (3) Selama tahap penyelidikan (dalam pengajaran ini), mahasiswa didorong untuk mengajukan pertanyaan dan mencari informasi. Guru akan bertindak sebagai pembimbing yang siap membantu, namun mahasiswa harus berusaha untuk bekerja mandiri atau dengan temannya, dan (4) Selama tahap analisis dan penjelasan, mahasiswa akan didorong untuk menyatakan ide-idenya secara terbuka dan penuh kebebasan.
Fase 2:
Mengorganisasi mahasiswa untuk belajar. Guru/dosen membantu mahasiswa membatasi dan mengorganisasi tugas belajar yang berhubungan dengan masalah yang dihadapi. guru/dosen dapat memulai kegiatan pembelajaran dengan membentuk kelompok-kelompok siswa dimana masing-masing kelompok akan memilih dan memecahkan masalah yang berbeda. Prinsip-prinsip pengelompokan siswa dalam pembelajaran kooperatif dapat digunakan dalam konteks ini seperti: kelompok harus heterogen, pentingnya interaksi antar anggota, komunikasi yang efektif, adanya tutor sebaya, dan sebagainya. Guru/dosen sangat penting memonitor dan mengevaluasi kerja masing-masing kelompok untuk menjaga kinerja dan dinamika kelompok selama pembelajaran.
Setelah mahasiswa diorientasikan pada suatu masalah dan telah membentuk kelompok belajar selanjutnya guru dan mahasiswa menetapkan subtopik-subtopik yang spesifik, tugas-tugas penyelidikan, dan jadwal.

Fase 3:
Membimbing penyelidikan individu maupun kelompok. Pada tahap ini, guru/dosen harus mendorong mahasiswa untuk mengumpulkan data dan melaksanakan eksperimen (mental maupun aktual) sampai mereka betul-betul memahami dimensi situasi permasalahan. Tujuannya adalah agar mahasiswa mengumpulkan cukup informasi untuk menciptakan dan membangun ide mereka sendiri. Guru/dosen membantu mahasiswa untuk mengumpulkan informasi sebanyak-banyaknya dari berbagai sumber, bukan hanya dari buku dan ia seharusnya mengajukan pertanyaan pada mahasiswa untuk berifikir tentang masalah dan ragam informasi yang dibutuhkan untuk sampai pada pemecahan masalah yang dapat dipertahankan.
Setelah mahasiswa mengumpulkan cukup data dan memberikan permasalahan tentang fenomena yang mereka selidiki, selanjutnya mereka mulai menawarkan penjelasan dalam bentuk hipotesis, penjelesan, dan pemecahan. Selama pengajaran pada fase ini, guru mendorong mahasiswa untuk menyampikan semua ide-idenya dan menerima secara penuh ide tersebut. Guru juga harus mengajukan pertanyaan yang membuat mahasiswa berfikir tentang kelayakan hipotesis dan solusi yang mereka buat serta tentang kualitas informasi yang dikumpulkan. Pertanyaan-pertanyaan berikut kiranya cukup memadai untuk membangkitkan semangat penyelidikan bagi mahasiswa. “Apa yang Anda butuhkan agar Anda yakin bahwa pemecahan dengan cara Anda adalah yang terbaik?” atau “Apa yang dapat Anda lakukan untuk menguji kelayakan pemecahanmu?” atau “Apakah ada solusi lain yang dapat Anda usulkan?”.
Fase 4:
Mengembangkan dan menyajikan hasil karya. Guru/dosen membantu mahasiswa merencanakan dan menyiapkan karya yang sesuai seperti laporan, video, dan model, dan membantu mereka untuk berbagi tugas dengan temannya. Langkah selanjutnya adalah mempamerkan hasil karyanya dan guru berperan sebagai organisator pameran. Akan lebih baik jika dalam pemeran ini melibatkan mahasiswa-mahasiswa lainnya, guru-guru, orangtua, dan lainnya yang dapat menjadi “penilai” atau memberikan umpan balik.
Fase 5:
Menganalisis dan mengevaluasi proses pemecahan masalah. Selama fase ini guru meminta mahasiswa untuk merekonstruksi pemikiran dan aktivitas yang telah dilakukan selama proses kegiatan belajarnya. Kapan mereka pertama kali memperoleh pemahaman yang jelas tentang situasi masalah? Kapan mereka yakin dalam pemecahan tertentu? Mengapa mereka dapat menerima penjelasan lebih siap dibanding yang lain? Mengapa mereka menolak beberapa penjelasan? Mengapa mereka mengadopsi pemecahan akhir dari mereka? Apakah mereka berubah pikiran tentang situasi masalah ketika penyelidikan berlangsung? Apa penyebab perubahan itu? Apakah mereka akan melakukan secara berbeda di waktu yang akan datang? Tentunya masih banyak lagi pertanyaan yang dapat diajukan untuk memberikan umpan balik dan menginvestigasi kelemahan dan kekuatan PBL untuk pengajaran.
Pannen (2001) mengemukakan langkah-langkah pemecahan masalah dalam pembelajaran PBL paling sedikit ada delapan tahapan yaitu: (1) mengidentifikasi masalah, (2) mengumpulkan data, (3) menganalisis data, (4) memecahkan masalah berdasarkan pada data yang ada dan analisisnya, (5) memilih cara untuk memecahkan masalah, (6) merencanakan penerapan pemecahan masalah, (7) melakukan ujicoba terhadap rencana yang ditetapkan, dan (8) melakukan tindakan (action) untuk memecahkan masalah.

Contoh Implementasi PBL dalam Pembelajaran
RENCANA PERKULIAHAN I
MATAKULIAH : Metodologi Penelitian Kimia
MATERI : Pengembangan Masalah penelitian
SEMESTER : Ke 6
PROGRAM STUDI : Kimia
ALOKASI WAKTU : 2 x Pertemuan @ 100 menit
I. Kompetensi
Memahami prinsip-prinsip pengembangan masalah penelitian kimia dan perumusan masalah penelitian
II. Indikator Pencapaian Hasil Belajar
1. menjelaskan perbedaan isu, masalah, dan fakta.
2. Mengidentifikasi masalah dari suatu kasus
3. Mengembangkan masalah dari hasil penelitian
4. Menjelaskan fisibilitas masalah untuk penelitian
III. Kegiatan Pembelajaran
Pendahuluan (Kegiatan Dosen):
1. Menjelaskan tujuan perkuliahan, kegiatan perkuliahan, dan jenis evaluasi yang akan dilakukan
2. Membagi kelompok mahasiswa berdasarkan kriteria yang ditetapkan dosen ( 1 kelompok 4 orang)
3. Memberikan tugas kepada masing-masing kelompok untuk membahas artikel hasil penelitian kimia yang diberikan oleh dosen.
Kegiatan Inti
1. Meminta perwakilan kelompok untuk mendiskripsikan artikel yang dibaca/dibahas meliputi: apa yang diteliti, mengapa orang tersebut melakukan penelitian itu (alasan teoritisnya), bagaimana langkah-langkah yang dilakukan, apa hasilnya, dan bagaimana kesesuaian dengan hasil penelitian lain atau teori yang ada.
2. Setelah semua kelompok selesai, dilakukan diskusi kelas. Dosen memfasilitasi diskusi tentang apa yang disebut masalah, bagaimana membedakan dengan isu, dan fakta, bagaimana teknik mengembangkan masalah penelitian, bagaimana merumuskan masalah, dan fisibilitas penelitian.
3. Menugaskan kepada kelompok untuk mengembangkan masalah baru dari hasil penelitian yang dibaca. Masing-masing kelompok presentasi dan kelompok lain menilai fisibilitas masalah yang dikembangkan.
4. Menugaskan kepada masing-masing mahasiswa mengumpulkan referensi tentang tema penelitian yang akan dipilihnya dan membuat resume masalah yang dipilih.
5. Menugaskan mahasiswa mempresentasikan masalahnya pada kelompok, anggota kelompok menilai fisibilitas dan originalitasnya. Masing-masing kelompok memilih satu masalah yang dipresentasikan di kelas.
6. Presentasi masalah oleh masing-masing kelompok, kelompok lainnya memberikan tanggapan, dan masukan dari dosen.
7. Masing-masing mahasiswa mendiskusikan masalah yang ditulisnya secara personal (bimbingan individual).
8. Mahasiswa mengumpulkan judul dan latar belakang masalah serta rumusan masalah, untuk ditukarkan antar kelompok (diberikan format penilaian).
9. Mahasiswa melakukan revisi produk dan mengumpulkan tugasnya pada dosen.
10. Dosen menugaskan masing-masing mahasiswa untuk melakukan kajian teori/kepustakaan tentang masalah yang dibuat (langkah berikutnya mulai dari langkah 5 sampai 9).

Penutup
1. Dosen memberikan umpan balik pada tugas yang dikumpulkan untuk diperbaiki pada akhir kuliah (proposal).
2. Diberikan umpan balik penilaian kinerja kelompok 3-4 kali pertemuan.

IV. Evaluasi
Dalam kegiatan diskusi kelompok, dosen melakukan penilaian kelompok untuk masing-masing mahasiswa dengan menggunakan contoh rubrik penilaian seperti di bawah ini:

Rubrik Aktivitas Diskusi

Skor Skala Kriteria:
4 : Sangat Baik
Mahasiswa mengajukan pertanyaan penting berhubungan dengan masalah yang dibahas lebih dari dua kali dalam satu pertemuan, memberikan tanggapan atas pertanyaan temannya, mengambil inisiatif dalam diskusi kelompok.


3 : Baik
Mahasiswa mengajukan pertanyaan penting berhubungan dengan masalah yang dibahas, frekuensi kurang dari 2 kali, memberikan tanggapan, ada inisiatif walau tidak penting.
2 : Cukup
Mengajukan pertanyaan yang kurang fokus, frekuensi 1 kali, kurang memberikan tanggapan, kurang inisiatif.
1 : Kurang
Pasif dalam diskusi, tidak ada pertanyaan dan tanggapan.

Simpulan
Pembelajaran Berbasis Masalah atau Problem Based Learning merupakan salah satu inovasi metode, model, dan strategi pembelajaran yang menekankan keterlibatan siswa dalam proses pembelajaran, dimana siswa berpartisipasi aktif dalam menemukan solusi pemecahan suatu masalah secara bersama-sama dengan siswa lain, sementara peran guru/dosen hanya sebagai fasilitator/pembimbing pembelajaran. Dengan demikian, siswa diharapkan akan memiliki kompetensi (kemampuan) memecahkan berbagai permasalahan nyata yang akan dihadapi dalam kehidupan mereka.
PBL ini bertujuan untuk meningkatkan kualitas proses dan hasil belajar. Untuk itu, PBL dapat diterapkan dalam kurikulum pendidikan kita dan dalam proses pembelajaran.

Daftar Rujukan
1. Judul : Pembelajaran Berbasis Masalah (Problem-Based Learning)
Alamat : http://lubisgrafura.wordpress.com/2007/09/19/pembelajaran-berbasis-masalah/
Penulis : I Wayan Dasna dan Sutrisno
2. Judul : Belajar Berbasis Masalah dan Kreativitas
Alamat : http://ebook30.com › ... › psychology behavior
Penulis : Oon-Seng Tan
3. Judul : Problem-Based Learning
Alamat : http://en.wikipedia.org/wiki/Problem-based_learning
Penulis : Wikipedia
4. Judul : Problem Based Learning Berbasis Teknologi Informasi (TI)
Alamat : http://elearning.unimal.ac.id/upload/materi/pbl-ict.pdf
Penulis : I Wayan Warmada